Kisah Pengusaha Tempe ”Suka Nicky” Yang Sukses Sampai Membuka Lapangan Kerja
Kisah Pengusaha Tempe ”Suka Nicky” Yang Sukses Sampai Membuka Lapangan Kerja – Camilan Nusantara
Berawal dari Kondisi ekonomi yang mendesak, dengan menggunakan ruang berupa gubuk di sawah
berukuran 3 X 4 meter di sawah, Sukini (44), warga Desa Gumiwang, Kecamatan
Purwonegoro mengawali bisnis rumah tangganya.
Tepatnya 5 tahun yang lalu (tahun 2007) ketika usahanya
mulai dirintis, dia hanya memanfaatkan peralatan tradisional untuk mengolah
seriping pisang. Sejalan dengan perkembangan usahanya, kini dia telah menemukan
‘core’ bisnis yang tepat, yaitu keripik tempe dengan label kebanggaannya “Suka
Nicky”.
Bu Sukini, panggilan akrabnya, menceritakan bahwa kisah
suksesnya adalah sebuah proses yang cukup panjang. Usai mengakhiri masa
lajangnya, tahun 1988, perempuan yang menyukai dunia masak memasak ini tidak
memiliki pekerjaan tetap.
Sukini adalah seorang ibu rumah tangga biasa yang
kesehariannya hanya mengurusi urusan rumah. Hingga akhirnya tahun 1990 dia dikarunia anak pertama. "Begitu lahir Galih Widodo, anak pertama
kami, saya merasa kebutuhan rumah tangga semakin bertambah, sementara suamiku
cuma bekerja serabutan. Paling sering kerja proyek. Tidak ada pemasukan yang
lain," katanya saat ditemui Derap Serayu di rumahnya.
Keinginannya untuk membantu suami semakin kuat ketika dia
menyadari lebih banyak pengeluaran daripada pemasukan. Terutama desakan untuk
memenuhi kebutuhan bagi putra pertamanya yang baru lahir. Meski sang suami
Siswanto (48) selalu berusaha memenuhi apapun permintaannya, tapi dia merasa
masih cukup punya energi untuk meringankan beban suami mencari uang.
“Kondisi terdesak itulah yang menuntun saya untuk berani
lebih maju. Seperti umumnya wanita, keahlian yang saya miliki adalah memasak.
Karena itu saya mencoba untuk membuat seriping pisang. Waktu itu, karena tidak
memiliki ruang cukup, awalnya kami memindah gubuk 3x4 meter dari sawah ke dekat
rumah. Pisang dikupas di luar, baru kemudian digoreng di dalam gubuk,”
kenangnya haru.
Selain keripik pisang, Sukini juga membuat sale dan
menggoreng kacang kulit. Secara umum, usaha keripik pisang yang dilakukan
bungsu dari delapan bersaudara itu berhasil. Meskipun pemasarannya masih
dilakukan secara tradisional.
"Saya ingat betul, menjalani marketing secara tradisional sendiri. Dengan berjalan kaki saya memikul seriping
pisang buatan istri ke pasar . Sampai akhirnya sedikit demi sedikit keuntungan
yang kami dapat ditabung untuk membeli motor.
Akhirnya saya pun bisa mengantar barang menggunakan motor ke
pasar," kata Siswanto suami Sukini.
satu-satunya kendala keripik pisang adalah bahan baku pisang
yang kadang tersendat. Untuk mencarinya juga susah. Sehingga hal tersebut
sering merepotkan. Wajar, jika di tengah jalan Sukini akhirnya berhenti dengan
usaha seriping pisangnya.
"Akhirnya saya
memutuskan untuk ganti produksi keripik tempe yang bahan bakunya lebih mudah
dan selalu ada di pasar. Padahal, kami ini tidak ada keturunan perajin tempe.
Semua dilakukan dengan belajar sendiri," katanya.
Sukini mengaku meminta bantuan tetangga untuk mengajari
membuat tempe. Bahkan di awal pembuatannya, beberapa kwintal tempe harus
terbuang sia-sia karena salah membuat. Tetapi, semua dilakukan dengan sabar dan
semangat dengan support penuh dari suami tercinta.
"Pernah membuat tempe 50 kilogram kedelai, tidak jadi.
Ya sudah, akhirnya dibuat pakan ikan. Kebetulan saya punya kolam ikan
juga," kata Siswanto.
Awalnya Sukini hanya mempekerjakan 3 orang untuk membantu
usahanya, tapi kini usahanya bisa menyerap tenaga kerja lokal (tetangganya)
sebanyak 25 orang. “Bahkan ketika
permintaan pasar membludak, seperti pada saat lebaran, pekerja pun saya tambah
sampai 30 orang,” ungkapnya.
Kini, tiap harinya
Sukini bisa menghasilkan 3 kwintal
keripik tempe dari 1,5 Kwintal kedelai
yang dibeli dan diolahnya sendiri menjadi tempe. Melalui penerapan teknologi
pengolahan hasil pertanian yang digunakan seperti Spinner (alat peniris
minyak), Sliccer (alat pemotong tempe), Handsealler(alat bantu pengemas), dan
lain sebagainya, ia dan seluruh karyawan kebanggaannya mampu menghasilkan
produk keripik tempe berkualitas yang digemari masyarakat.
“Tadinya tempat produksi kami terbatas, tempat mengolah
kedelai menjadi tempe, menggorengnya menjadi keripik dan mengepaknya dalam
kemasan di satu lokasi yang sempit. Sekarang sudah ada tempat khusus berukuran
3X10 meter untuk penggorengan bagi kurang lebih 18 orang yang menggoreng
keripik tempe dengan jumlah tungku yang sama yaitu 18 tungku,” terangnya.
Sukini dan Siswanto yakin, jumlah produksi yang ada sekarang
masih bisa bertambah. Padahal untuk pemasaran masih berkisar lokal eks
karsidenan Banyumas. “Kalau kiriman masih sekitar eks karsidenan, ada yang
langsung ke took, ada yang grosir. Dari
grosir inilah banyak produk kami yang menembus ke luar kota, sampai ke Cirebon.
Meski kadang sudah dengan merk yang berbeda,” ujar Sukini.
Salah satu prestasi yang membuat Sukini bangga adalah,
produknya bisa menembus pasar Purwokerto yang notabene sudah terlebih dahulu
dikenal dengan ‘Kota Keripik’. Lantas
apa yang menjadi kekhasan dan keistimewaan produknya hingga bisa melenggang
masuk pasar Purwokerto?
“Makanan itu biasanya diingat atau dikenang karena bentuk
dan kualitas rasa. Selain bentuk tempe yang kami buat unik, yaitu bulat-bulat kecil,
sampai detik ini saya masih terjun langsung untuk menjaga kualitas produk
dengan melakukan kontrol. Karena hampir semua proses dilakukan di satu lokasi,
satu kontrol, dan satu pengawasan, maka usaha kami bisa dikategorikan sebagai
produksi tempe keripik terpadu,” terangnya.
Dia mencontohkan pembuatan tempe dan adonan keripik di Suka
Nicky tidak ada formula paten, artinya setiap hari selalu berbeda. Untuk itulah
pengawasan saat ini dilakukan sentralistik oleh Sukini. Dia belum menghendaki
proses pengolahan kedelai menjadi tempe dan proses penggorengan di sub kan ke
rumah warga atau karyawannya untuk menjaga kualitas produk.
Produk keripik tempe Suka Nicky memang selalu fresh. Kedelai
sebanyak 1,5 Kwintal setiap harinya langsung diolah menjadi temped dan dibuat
keripik. Selanjutnya kerripik tempe yang sudah jadi juga langsung di kemas
(packing), dan siap untuk dipasarkan.
“Sangat jarang kita mempunyai tendon melimpah, pasti armada
kami langsung distribusi. Sisa di rumah hanya diperuntukkan untuk pembeli atau
pelanggan yang tiba-tiba saja dating ke rumah,” ujar Siswanto yang merangkap
peran sebagai koordinator marketing.
Sukini dan Siswanto mempunyai impian untuk mengembangkan
usahanya. Saat ini dukungan dari pemerintah melalui dinas terkait juga sudah
beberapa kali dia terima. Baik berupa alat maupun uang untuk merehab tempat
produksinya. Berbagai inovasi juga dilakukan oleh Sukini, lembaga pendidikan
pun ada yang focus mendampinginya.
“Terus terang kami masih punya kendala dalam hal limbah
pengolahan tempe yang belum bisa diolah dan dimanfaatkan secara optimal. Karena
itu kami masih terus membutuhkan pendampingan terkait hal ini. Syukur-syukur
jika ada yang berniat membantu kami untuk mengajarkan bagaimana cara pengolahan
yang baik dan tepat,” pintanya.
Terkait dengan modal, saat ini diakui Sukini ia dan suaminya
masih sekedar memutar omset yang ada. Sebenarnya menurutnya potensi pasar
sangat terbuka dan masih luas, tapi dia tidak mau gegabah dengan menambah modal
lewat hutang.
“Saya sangat bersyukur karena lewat usaha ‘Suka Nicky’
sekarang sudah tiga tahun terakhir suami tidak perlu bekerja lagi dan kedua
anak saya bisa melanjutkan sekolah sampai bangku kuliah. Selain itu saya juga
bisa turut membantu ibu-ibu di sekitar rumah supaya bisa lebih produktif dan
bisa menghasilkan uang sendiri,” tuturnya.
Baca Juga :
Komentar
Posting Komentar